Journal of Dual Legal Systems
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls
<p align="justify">Journal of Dual Legal Systems with P-ISSN <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20240616451482654" target="_blank" rel="noopener">3048-3700</a> (Print), E-ISSN <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20240705202398208" target="_blank" rel="noopener">3064-0555</a> (Online) is a double-blind peer-reviewed journal published by Islamic Family Law Department, Sharia Faculty, STAI Syekh Abdur Rauf, Aceh Singkil, Indonesia. The journal publishes research articles (See Focus and Scope). Scientific publications are reviewed by experts in their fields of expertise with abstracts in English and Indonesian. Submitted manuscripts must discuss scientific achievements or novelties in accordance with their focus and scope. All texts must be free from plagiarism content. All authors are advised to use plagiarism detection software to check for 25% similarity. Please note that this journal only publishes manuscripts in Indonesian and English. This journal is published regularly twice a year, namely every Maret (first edition) and September (second edition)</p>Islamic Family Law Department, Sharia Faculty, Stai Syekh Abdur Rauf, Aceh Singkil en-USJournal of Dual Legal Systems3048-3700Usia Minimal Pernikahan dalam Hukum Keluarga Islam: Studi Komparatif antara Indonesia dan Brunei Darussalam
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls/article/view/287
<p>The variation in marriage age policies across different countries reflects the complex dynamics of law and culture. In Indonesia, Law No. 16 of 2019 sets the minimum marriage age at 19 years for both males and females to prevent child marriage and promote gender equality. However, marriage dispensation may be granted under specific conditions. Meanwhile, in Brunei Darussalam, the minimum marriage age varies based on ethnicity and religion. Islamic family law in Brunei does not explicitly specify a minimum marriage age but refers to maturity (*baligh*) according to different Islamic jurisprudential interpretations. This study aims to analyze the comparative policies on marriage age limits in Indonesia and Brunei Darussalam and their implications for child protection and gender equality. This research employs a qualitative approach, utilizing document studies and comparative legal analysis of the prevailing regulations in both countries. The findings indicate that although Indonesia and Brunei Darussalam adopt different legal foundations, both countries seek to balance national legal norms and religious values in determining the minimum marriage age. However, the implementation of marriage dispensations and legal flexibility is more varied in Brunei compared to Indonesia, which enforces stricter minimum age requirements. A limitation of this study is the lack of empirical data on the implementation of these policies at the community level, particularly regarding the approval of marriage dispensations for underage individuals. Further research is needed to explore the social and welfare impacts of these policies on children who marry at a young age. As a recommendation, Indonesia could adopt a more flexible approach in granting marriage dispensations while ensuring strict oversight to protect children. Meanwhile, Brunei Darussalam could consider a more uniform age standard across different communities to enhance child protection and promote gender equality in marriage.</p> <p>[Perbedaan kebijakan batas usia pernikahan di berbagai negara mencerminkan dinamika hukum dan budaya yang kompleks. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimum pernikahan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan untuk mencegah pernikahan anak dan mencapai kesetaraan gender. Namun, dispensasi dapat diberikan dengan syarat tertentu. Sementara itu, di Brunei Darussalam, batas usia pernikahan berbeda berdasarkan etnis dan agama. Hukum keluarga Islam di Brunei tidak secara eksplisit menetapkan usia minimum pernikahan, tetapi mengacu pada kedewasaan (baligh) sesuai dengan interpretasi mazhab. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan kebijakan batas usia pernikahan di Indonesia dan Brunei Darussalam, serta implikasinya terhadap perlindungan anak dan kesetaraan gender. Pendekatan penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi dokumen dan analisis hukum komparatif terhadap regulasi yang berlaku di kedua negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Indonesia dan Brunei Darussalam memiliki dasar hukum yang berbeda, keduanya tetap mempertimbangkan keseimbangan antara norma hukum nasional dan nilai-nilai agama dalam menentukan batas usia pernikahan. Namun, penerapan dispensasi dan fleksibilitas dalam hukum Brunei lebih bervariasi dibandingkan Indonesia, yang lebih ketat dalam menerapkan batas usia minimum. Keterbatasan penelitian ini terletak pada kurangnya data empiris mengenai implementasi kebijakan di tingkat masyarakat, terutama dalam hal persetujuan dispensasi pernikahan di bawah usia minimum. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi dampak kebijakan ini terhadap kehidupan sosial dan kesejahteraan anak-anak yang menikah di usia muda. Sebagai rekomendasi, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dalam pemberian dispensasi dengan pengawasan ketat untuk memastikan perlindungan anak. Sementara itu, Brunei Darussalam dapat mempertimbangkan standar usia yang lebih seragam di seluruh kelompok masyarakat guna meningkatkan perlindungan hak-hak anak dan kesetaraan gender dalam pernikahan].</p>Rizka MahfuzaLydia Fahira BatubaraMuhammad Ichsan
Copyright (c) 2025 Rizka Mahfuza, Lydia Fahira Batubara, Muhammad Ichsan
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-03-092025-03-092111310.58824/jdls.v2i1.287Kesetaraan Gender dalam Hukum Perkawinan Islam: Antara Idealitas Normatif dan Realitas Sosial
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls/article/view/286
<p>Gender equality in Islamic marriage law remains a critical and contentious issue, particularly concerning the rights and responsibilities of husbands and wives. Although justice (al-‘adalah) is a fundamental principle in Islam, social and legal practices often reflect disparities, particularly in matters such as divorce rights, financial support (nafkah), and the division of household roles. This study aims to analyze how the implementation of Islamic marriage law in various Muslim countries influences the achievement of gender equality, while also exploring the factors that facilitate or hinder the realization of justice in marriage. This research employs a qualitative study with a normative legal and socio-legal approach. The analysis examines various legal documents, including the Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam, KHI) in Indonesia, the Islamic Family Law Act in Malaysia, as well as regulations in countries such as Tunisia and Morocco, which have implemented more progressive reforms in marriage law. Additionally, data were gathered through literature reviews and interviews with Islamic legal scholars to understand how interpretations of fiqh and legal texts contribute to shaping fair marital practices. The findings indicate that although several Muslim-majority countries have adopted more egalitarian policies in marriage law, their implementation remains constrained by deeply entrenched patriarchal cultural norms. For instance, while Indonesia and Malaysia have introduced regulations aimed at achieving gender equality, their enforcement is often suboptimal due to the persistence of traditional values that position men as the primary authority figures within households. In contrast, Tunisia and Morocco have successfully enacted more progressive legal reforms, granting women more equitable rights in marriage and divorce. The study concludes that a reinterpretation of Islamic legal texts and fiqh is necessary to ensure that marriage law remains relevant to contemporary social contexts while preserving the fundamental Islamic principle of justice. Legal reforms and increased public awareness regarding the rights and responsibilities of spouses are crucial steps toward establishing a more equitable marital framework. Therefore, collaboration among governments, religious scholars, and society is essential to developing a legal structure that safeguards women's rights in marriage while upholding core Islamic values such as justice, compassion, and human dignity.</p> <p>[Kesetaraan gender dalam hukum perkawinan Islam merupakan isu krusial yang masih menjadi perdebatan, terutama terkait hak dan kewajiban antara suami dan istri. Meskipun prinsip utama dalam Islam adalah keadilan (al-‘adalah), praktik sosial dan hukum yang berlaku sering kali menunjukkan ketimpangan, terutama dalam hal hak talak, nafkah, dan pembagian peran dalam rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana implementasi hukum perkawinan Islam dalam berbagai negara Muslim memengaruhi pencapaian kesetaraan gender, serta mengeksplorasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penerapan keadilan dalam perkawinan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kualitatif dengan pendekatan hukum normatif dan sosio-legal. Analisis dilakukan terhadap berbagai dokumen hukum seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Akta Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia, serta regulasi di negara-negara seperti Tunisia dan Maroko yang lebih progresif dalam reformasi hukum perkawinan. Selain itu, data diperoleh melalui kajian literatur dan wawancara dengan pakar hukum Islam untuk memahami bagaimana interpretasi fiqh dan teks hukum berperan dalam membentuk praktik perkawinan yang adil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun regulasi di beberapa negara Muslim telah mengadopsi kebijakan yang lebih setara dalam hukum perkawinan, implementasinya masih terhambat oleh norma budaya patriarkal yang mengakar dalam masyarakat. Indonesia dan Malaysia, misalnya, memiliki regulasi yang berupaya mencapai kesetaraan, tetapi pelaksanaannya sering kali tidak optimal karena pengaruh nilai-nilai tradisional yang masih menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama dalam rumah tangga. Di sisi lain, Tunisia dan Maroko telah berhasil menerapkan reformasi hukum yang lebih progresif, memungkinkan perempuan memiliki hak yang lebih setara dalam pernikahan dan perceraian. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa reinterpretasi terhadap teks hukum Islam dan fiqh diperlukan agar hukum perkawinan lebih relevan dengan konteks sosial modern tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar Islam yang menekankan keadilan. Reformasi hukum serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban suami istri menjadi langkah penting dalam mewujudkan perkawinan yang lebih adil. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, ulama, dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan kerangka hukum yang melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan sambil tetap mempertahankan prinsip keadilan dalam ajaran Islam].</p>Andri Irama DaulayFahmi Hakim
Copyright (c) 2025 Andri Irama Daulay, Fahmi Hakim
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-03-112025-03-1121142410.58824/jdls.v2i1.286 Kedudukan Constitutional Complaint dalam Mahkamah Konstitusional
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls/article/view/319
<p>The purpose of this study is to determine the constitutional complaint mechanism based on comparisons in various countries that have been practiced in the Constitutional Court institution. Many cases with constitutional complaint substances have been submitted to the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, even though they do not have the authority to do so. This study uses a normative legal research method using a legislative approach, a conceptual approach, a comparative approach, and a case approach. This study shows that the Constitutional Complaint mechanism in Germany, South Korea, and South Africa already exists and has been implemented well. In practice, cases with constitutional complaint substances are submitted to the Constitutional Court of the Republic of Indonesia by changing their form using legal means of testing, such as cases No. 140 / PUU / XIII / 2015 and No. 102 / PUU-VII / 2009. Because it considers the legal structure, substance, and legal culture. Therefore, the adjustment of constitutional complaints within the authority of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia needs to be done by amending Law No. 24 of 2003 Jo. Law No. 7 of 2020 concerning the Constitutional Court.</p> <p>[Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme constitutional complant berdasarkan perbandingan di berbagai negara yang ditelah dipraktikan dalam lembaga Mahkamah Konstitusi. Banyak kasus dengan substansi constitutional complant yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, meskipun mereka tidak memiliki kewenangan akan hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunaan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan komparatif, dan pendekatan kasus. Penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme Constitutional Complant di Jerman, Korea Selatan, dan Afrika Selatan sudah ada dan telah dilaksanakan dengan baik. Dalam praktiknya, perkara yang substansinya constitutional complaint diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan mengubah bentuknya dengan menggunakan sarana hukum pengujian, seperti perkara No. 140/PUU/XIII/2015 dan No. 102/PUU-VII/2009. Karena mempertimbangkan struktur hukum, substansi, dan budaya hukum. Maka penyesuaian konstitusional complaint dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia perlu dilakukan dengan mengubah UU No. 24 Tahun 2003 Jo. UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi].</p>Ryan Fachryan Lesmana PutraNandang Pamungkas
Copyright (c) 2025 Ryan Fachryan Lesmana Putra, Nandang Pamungkas
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-03-132025-03-1321254510.58824/jdls.v2i1.319Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Non-Litigasi: Kajian Hukum dan Implementasinya di Indonesia
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls/article/view/322
<p>This study focuses on legal efforts in resolving civil disputes through non-litigation mechanisms and the various obstacles that arise in their implementation based on civil law. Non-litigation dispute resolution is an alternative that is widely used because it is considered faster, more flexible, and lower cost compared to the litigation process in court. In this study, the method used is an empirical research method, namely by conducting a study of the application of non-litigation dispute resolution in the field and identifying the various challenges faced in its implementation. The results of the study indicate that there are several forms of civil dispute resolution through non-litigation channels, including negotiation, mediation, and arbitration. Each of these methods has its own characteristics and procedures in resolving disputes between the disputing parties. However, in practice, non-litigation dispute resolution also faces various obstacles, especially in cases of buying and selling in civil law. One of the main obstacles is the effectiveness of mediation which often depends on the good faith of the parties to reach an agreement. In addition, the validity of the peace results achieved through non-litigation mechanisms is also a problem that often arises, especially related to the legal force of the resulting agreement and the compliance of the parties in implementing the agreements that have been made.With these various obstacles, it is necessary to optimize the non-litigation dispute resolution mechanism in order to provide legal certainty for the parties involved. This can be done by increasing the role of competent mediators and arbitrators, strengthening regulations related to non-litigation in civil law, and developing a monitoring system for the implementation of non-litigation dispute resolution results.</p> <p>[Penelitian ini berfokus pada upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perdata melalui mekanisme non-litigasi serta berbagai hambatan yang muncul dalam implementasinya berdasarkan hukum perdata. Penyelesaian sengketa secara non-litigasi menjadi alternatif yang banyak digunakan karena dinilai lebih cepat, fleksibel, dan berbiaya lebih rendah dibandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian empiris, yaitu dengan melakukan kajian terhadap penerapan penyelesaian sengketa non-litigasi di lapangan serta mengidentifikasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa perdata melalui jalur non-litigasi, antara lain negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Masing-masing metode ini memiliki karakteristik dan prosedur tersendiri dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak yang bersengketa. Namun, dalam praktiknya, penyelesaian sengketa non-litigasi juga menghadapi berbagai hambatan, terutama dalam kasus jual beli dalam hukum perdata. Salah satu kendala utama adalah efektivitas mediasi yang sering kali bergantung pada itikad baik para pihak untuk mencapai kesepakatan. Selain itu, keabsahan hasil perdamaian yang dicapai melalui mekanisme non-litigasi juga menjadi permasalahan yang kerap muncul, terutama terkait dengan kekuatan hukum dari perjanjian yang dihasilkan dan kepatuhan para pihak dalam melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat. Dengan adanya berbagai kendala tersebut, diperlukan optimalisasi mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan peran mediator dan arbiter yang kompeten, penguatan regulasi terkait non-litigasi dalam hukum perdata, serta pengembangan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan hasil penyelesaian sengketa secara non-litigasi].</p>Dahliani DahlianiHadi Tuasikal
Copyright (c) 2025 Dahliani Dahliani, Hadi Tuasikal
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-04-092025-04-0921466910.58824/jdls.v2i1.322Tantangan dan Solusi dalam Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Tanah
https://www.journal.staisar.ac.id/index.php/jdls/article/view/323
<p>Land is not only a valuable asset for individuals and community groups, but also a determining factor in national development. Along with increasing development and changes in land use, disputes over ownership, boundaries, and land use rights are increasingly common. In dealing with this problem, mediation as an alternative to resolving disputes outside the courts has been recognized as a faster, cheaper, and more efficient method compared to litigation which is often time-consuming and expensive. Mediation allows the parties to reach a win-win solution without having to go through a complicated legal process. However, the effectiveness of mediation is highly dependent on various factors. The success of mediation is largely determined by the extent to which the results of the agreement can be implemented properly, including support from land institutions and local governments in following up on the decisions that have been agreed upon. Based on the results of this study, it shows that mediation can be an effective tool in resolving land disputes, especially if carried out professionally by paying attention to the principles of justice and equality for the parties. Mediators who have a deep understanding of agrarian law, good communication skills, and experience in handling similar cases can increase the chances of mediation success. However, it also identifies a number of challenges that need to be overcome so that mediation can run more optimally. These challenges include an imbalance of power between the parties, with the more economically and politically powerful often having greater influence, a lack of public understanding of the process and benefits of mediation, and limitations in the implementation and monitoring of the outcomes of agreements that have been reached. [Tanah tidak hanya menjadi aset berharga bagi individu dan kelompok masyarakat, tetapi juga menjadi faktor penentu dalam pembangunan nasional. Seiring dengan meningkatnya pembangunan dan perubahan pemanfaatan tanah, sengketa kepemilikan, batas wilayah, dan hak guna tanah semakin sering terjadi. Dalam menghadapi permasalahan ini, mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diakui sebagai metode yang lebih cepat, murah, dan efisien dibandingkan dengan jalur litigasi yang sering kali memakan waktu lama dan biaya tinggi. Mediasi memungkinkan para pihak untuk mencapai kesepakatan yang bersifat win-win solution tanpa harus melalui proses hukum yang berbelit. Namun, efektivitas mediasi sangat bergantung pada berbagai faktor. Keberhasilan mediasi sangat ditentukan oleh sejauh mana hasil kesepakatan dapat diimplementasikan dengan baik, termasuk dukungan dari lembaga pertanahan dan pemerintah daerah dalam menindaklanjuti keputusan yang telah disepakati. Berdasarkan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mediasi dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelesaikan sengketa tanah, terutama jika dilaksanakan secara profesional dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan bagi para pihak. Mediator yang memiliki pemahaman mendalam tentang hukum agraria, kemampuan komunikasi yang baik, serta pengalaman dalam menangani kasus serupa dapat meningkatkan peluang keberhasilan mediasi. Namun, juga mengidentifikasi sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar mediasi dapat berjalan lebih optimal. Tantangan tersebut mencakup ketidakseimbangan kekuatan antara para pihak di mana pihak yang lebih kuat secara ekonomi dan politik sering kali memiliki pengaruh lebih besar kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses dan manfaat mediasi, serta keterbatasan dalam pelaksanaan dan pengawasan terhadap hasil kesepakatan yang telah dicapai].</p>Riska Kurnia NingsihHadi Tuasikal
Copyright (c) 2025 Riska Kurnia Ningsih, Hadi Tuasikal
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-04-092025-04-0921708910.58824/jdls.v2i1.323